@bangkuta socius

Jumat, 09 Desember 2011

Metodologi Studi Islam

Pengantar Islamic Studies (Kajian Islam)

“Ketika umat Islam berada dalam problem ketidakberdayaan dan keterbelakangan yang total, hanya satu yang bisa dibanggakan, yaitu teks suci itu. Pilihannya adalah apakah teks suci itu harus ditinggalkan atau bagaimana? Bukankah orang lain bisa bangkit tanpa teks, walaupun sebenarnya modernisme barat pun sebetulnya merujuk pada teks-teks Yunani kuno sebagai acuan pengembangan dan penyesuaiannya.” (Masdar F.Mas’udi)   

            Islam sebagai ajaran menjadi topik yang menarik dikaji, baik oleh kalangan intelektual muslim sendiri maupun sarjana-sarjana barat, mulai tradisi orientalis sampai dengan Islamolog (ahli pengkaji keislaman).
Pendekatan yang dikaji di sini merupakan pendekatan yang telah digunakan oleh para orientalis sebagai outsider (pengkaji dari luar penganut Islam) dan insider (pengkaji dari kalangan muslim sendiri). Pada tahap awal, kajian keislaman dikalangan intelektual muslim lebih mengutamakan pola transmisi, sementara kajian keislaman orientalis lebih mengedepankan kajian kritis atas ajaran, masyarakat, dan institusi yang ada di dunia Islam.
            Kajian keislaman lebih merupakan usaha kritis terhadap teks, sejarah, doktrin, pemikiran dan institusi keislaman dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu yang secara popular di kalangan akademik dianggap ilmiah. Menurut Jacques Waardenburg dalam bukunya yang berjudul Islamic Studies dikatakan bahwa Studi Islam adalah kajian tentang agama Islam dan aspek-aspek dari kebudayaan dan masyarakat muslim. Berbeda dengan kajian yang biasa dilakukan dalam perspektif pemeluk Islam pada umumnya, Islamic Studies menurutnya tidak bersifat normatif. Dalam hal ini, Islam dipandang sebagai ajaran suatu agama yang sudah membentuk komunitas dan budaya, dilepaskan dari keimanan dan kepercayaan. Dengan demikian, Islamic Studies menjadi kajian kritis dan menggunakan analisis yang bebas sebagaimana berlaku dalam tradisi ilmiah tanpa beban teologis atas ajaran dan fenomena keagamaan yang dikajinya.
Sayyed Hossen Nasr mengatakan dalam bukunya yang berjudul Islamic Studies: Essays on Law and Society, the Sciences, and Philosophy and Sufism :
Islam bukan hanya sekedar sebuah agama dalam pengertian yang biasa, tetapi juga sebuah kerangka sosial politik, pandangan keduniaan, dan pandangan hidup, yang mencakup semua aspek fisik, mental, dan spiritual manusia. Islam lebih jauh lagi merupakan sebuah tradisi yang walaupun esensinya bersifat tunggal, meliputi berbagai pengertian dan derajat pelaksanaan.”
Berdasarkan paparan di atas, pada dasarnya Islamic studies adalah tradisi kajian Islam yang dikembangkan atas dasar kecenderungan ilmiah modern ala barat, khususnya dalam lapangan ilmu sosial dan kemanusiaan.

Sejarah Tradisi Kajian Islam
            Pendidikan Islam pada zaman permulaan Islam dilaksanakan di masjid-masjid. Mahmud Yunus menjelaskan bahwa pusat-pusat studi Islam klasik adalah Mekkah dan Madinah (Hijaz), Basrah dan Kufah (Irak), Damaskus dan Palestina (Syam), dan Fistat (Mesir). Madrasah Mekkah dipelopori oleh Muadz bin Jabal; madrasah Madinah dipelopori oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman; madrasah Basrah dipelopori oleh Abu Musa al Asy’ari dan Anas bin Malik; madrasah Kufah dipelopori oleh Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud; madrasah Damaskus dipelopori oleh Ubadah dan Abu Darda; sedangkan madrasah Fistat dipelopori oleh Abdullah bin Amr bin ‘Ash.
            Tradisi kajian keislaman ala barat berakar pada sejarah yang sangat panjang, paling tidak sejauh hubungan Kristen dengan Islam. Tidak bisa dielakan bahwa sebab utama dari pertumbuhan kajian keislaman itu adalah alasan teologis untuk menunjukan dan mempertahankan keabsahan ajaran Kristen, dibanding dengan Islam. Islamic studies (kajian Islam) mulai berkembang pada abad ke-19 sebagai bagian dari kajian masalah ketimuran. Berdasarkan perkembangan kajian keislaman ala barat dapat diidentifikasikan ke dalam 3 tahap : (1) tahap teologis, (2) tahap politis, (3) tahap scientific).
Kemunculan kajian keislaman dalam tradisi barat dimulai dari kalangan gereja. Kajian keislaman oleh St.John memperlihatkan sikap teologisnya sebagai seorang Kristen yang menganggap Islam sebagai  ajaran murtad (Christian heresy),seperti tertulis dalam karyanya yang berjudul The Fount of Knowledge.
Tokoh Kristen lainnya yang mendalami kajian keislaman adalah  Peter the Venerable dan Robert of Ketton yang menerjemahkan teks-teks al-Qur’an, hadis, sejarah nabi dan manuskrip arab lainnya. Tokoh penting lainnya adalah St.Thomas Aquinas yang mengklasifikasikan dalam ajaran kafir (unbelief).
            Memasuki abad ke 12 telah terjadi sedikit perubahan dalam memperkenalkan kajian keislaman yang tidak lagi didominasi pandangan teologis namun pandangan atau dimensi lain. Pada abad ke-13 karya-karya pemikir Islam seperti filsuf Ibnu Sina telah banyak diterjemahkan dan menjadi rujukan dunia barat. Begitu pula pada abad berikutnya komentar-komentar Ibnu Rusyd tentang pemikiran Aristoteles telah dijadikan rujukan kaum orientalis, bahka Ibnu Rusyd mendapat julukan “The commentator” atau sang komentator, berkaitan dengan analisa tajamnya terhadap pemikiran Aristoteles.

Ruang Lingkup Kajian Islam
            Pembahasan kajian keislaman mengikuti wawasan dan keahlian para pengkajinya, sehingga terkesan ada nuansa kajian mengikuti selera pengkajinya. Secara material, ruang lingkup kajian keislaman dalam tradisi barat meliputi pembahasan mengenai ajaran, doktrin, pemikiran,teks, sejarah dan institusi keislaman. Pada awalnya ketertarikan sarjana barat terhadap pemikiran Islam lebih karena kebutuhan akan penguasaan daerah koloni. Mengingat daerah koloni pada umumnya adalah negara-negara yang banyak didiami warga muslim, sehingga mau tidak mau mereka harus memahami tentang budaya local. Contoh kasus dapat dilihat pada perang Aceh, dimana Snouck Hurgronje telah mempelajari Islam terlebih dahulu sebelum diterjunkan di lokasi dengan asumsi ia telah memahami budaya dan peradaban masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam. Islam dipelajari oleh Hurgronje dari sisi landasan normatif maupun praktik bagi para pemeluknya, kemudian dibuatlah rekomendasi kepada para penguasa colonial untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam.
            Setelah mengalami keterpurukan, dunia Islam mulai bangkit melalui para pembaru yang telah tercerahkan. Dari kelompok ini munculah gagasan agar umat Islam mengejar ketertinggalannya dari dunia barat. Muhammad Abduh (1849-1905) pemikir dari Mesir, menghembuskan ide-ide pembaharuan di dunia Islam. Pemikiran Abduh diilhami oleh pemikiran gurunya, Jamaludin al-Afghani (1838-1897) seorang pemikir di bidang politik. Namun dalam skala global sebenarnya pemikiran para pembaharu Mesir diawali oleh pemikir besar sebelumnya, yaitu Rifa’ah al-Thathawi (1801-1873).


Pusat Studi Islam Masa Kejayaan Islam Klasik
No
Kota 
Lembaga
Pendiri
1 Baghdad, Irak 1. Bait al Hikmah 2.Madrasah Nizhamiah 1. Al Amin (Bani Abbas) 2. Nizham al-Muluk
2 Kairo, Mesir Universitas al-Azhar Fathimiyah (Syiah)
3 Cordova, Spanyol Universitas Cordova Abd al-Rahman III (Bani Umayah)

0 komentar:

Posting Komentar