@bangkuta socius

Selasa, 13 Desember 2011

Sosiologi dan Krisis Keuangan Global

Dunia mulai menyadari krisis keuangan global sedang menghantam pertahanan budaya, ekonomi, dan sosial segenap lapisan masyarakat. Seperti biasa, politisi dan ekonom di Barat optimistis menanggapi krisis ini: ekonomi dunia akan pulih kembali akhir 2008 atau pada 2009.

Akhir Maret lalu Academia Sinica, pusat ilmu pengetahuan prestisius Taiwan, menyelenggarakan konferensi sosiologi sedunia. Diselenggarakan di Taipei, konferensi yang dihadiri sosiolog dari 50 negara ini menampilkan dua pembicara utama: Michel Wieviorka, sosiolog Perancis sekaligus Presiden Asosiasi Sosiologi Internasional, dan Michael Burawoy, mantan Presiden Asosiasi Sosiologi Amerika.

Burawoy dikenal sebagai pencetus gagasan sosiologi publik, gagasan yang kini menjadi perdebatan sosiolog di seluruh dunia. Wieviorka memaparkan pemikirannya mengenai krisis keuangan global dan menawarkan jalan keluar yang berbeda dibandingkan dengan politisi dan ekonom.

Kerusakan sistem

Menurut Wieviorka, krisis ini disebabkan kerusakan sistem kapitalisme dunia yang pada awal milenium ini telah berkembang ke tingkat superkapitalisme. Sistem ini ditandai oleh dominasi perusahaan keuangan dalam menggerakkan ekonomi dunia. Bila pada masa lalu perusahaan keuangan berfungsi sebagai penghubung antara pengusaha dan konsumen, pada masa kini mereka mengontrol hampir semua sektor ekonomi dunia.

Sistem ini juga ditandai oleh hilangnya hubungan sosial antara pemerintah, pemilik saham, serikat pekerja, dan masyarakat konsumen. Mekanisme mengatur diri sendiri telah menjadi ”tulang sumsum” di tubuh superkapitalisme. Mekanisme ini yang, dalam ilmu ekonomi, diyakini dapat meningkatkan efisiensi dan telah menjelma menjadi binatang buas tak terkendali.

Dalam wawancara dengan BBC, mantan Wakil Presiden Perusahaan Keuangan Enron Sherron Watkins mengungkapkan kebengisan perusahaan keuangan di Amerika Serikat. Katanya, tidak sedikit perusahaan keuangan memanipulasi laporan keuangan. Berkolusi dengan lembaga pengawas keuangan dan ditopang oleh pengacara yang tangguh, mereka dapat mengancam siapa saja yang membeberkan kecurangan mereka ke media.

Krisis keuangan global ini sesungguhnya tidak tiba-tiba muncul. Sebab-sebab terjadinya krisis ini dapat ditelusuri jauh ke belakang. Pada pertengahan dasawarsa 1970-an dunia menyaksikan redupnya kapitalisme kesejahteraan. Paradigma ini pelan, tetapi pasti diganti dengan paradigma kapitalisme pemegang saham.

Dalam kurun waktu itu, dunia Barat, terutama AS, menyaksikan redupnya serikat buruh, peralihan interaksi antarkelompok ke tangan para penjamin berlapis- lapis, dan sistem yang memungkinkan gerakan modal global yang amat lentur. Kapitalisme pemegang saham tumbuh dan mendominasi kehidupan ekonomi tanpa menghadapi perlawanan kelompok mana pun di AS.


Krisis global ini tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosiologi dan ilmu sosial di seluruh dunia. Pada era kapitalisme pemegang saham, kita menyaksikan dominasi sosiologi Amerika di seluruh penjuru dunia. Jenis sosiologi ini, sungguhpun tidak semua, telah lama meninggalkan pemikiran sosiologi klasik yang telah mengilhami pemimpin politik di Barat membangun kapitalisme berwajah kemanusiaan.

Burawoy menawarkan perlunya mengembangkan sosiologi alternatif sebagai jalan keluar menghadapi dominasi tersebut. Dengan kemunculan sosiologi alternatif ini, sosiologi di tingkat global menjadi bersifat multipolar. Sosiolog dari luar Amerika dan Eropa perlu mengontekstualkan konsep dan teori Barat dengan mengkritik, memperbaiki, dan memperkaya ilmu sosial Barat, dan bukan sebaliknya: menelan mentah-mentah.

Ada dua pelajaran berharga yang dapat dipetik dari konferensi ini. Pertama, sungguhpun kapitalisme pemegang saham belum mendominasi ekonomi Indonesia, kecenderungan berkembangnya jenis kapitalisme ini— terutama di sektor properti, pertambangan, dan konsumsi—sudah terasa sejak 10 tahun lalu. Sosiolog Indonesia perlu mempelajari akibat sosial, ekonomi, dan politik yang dipikul masyarakat bila perusahaan-perusahaan di sektor tersebut dimiliki oleh pemilik saham yang berdomisili di mancanegara.

Kedua, selama 10 tahun terakhir, Indonesia dibanjiri pelbagai macam konsep dari Barat, seperti privatisasi dan good governance. Sosiolog Indonesia perlu mengontekstualkan konsep tersebut untuk situasi Indonesia. Dengan cara semacam ini, Indonesia tak lagi perlu mematuhi begitu saja saran lembaga keuangan multilateral dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan publik.

0 komentar:

Posting Komentar