This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

@bangkuta socius

Kamis, 08 Maret 2012

Memahami Dinamika Sosial

Pada dasarnya manusia itu tidak mungkin dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan manusia lain untuk berinteraksi demi memenuhi kebutuhan hidupnya, baik pada segi-segi fisiologi, psikologi, maupun sosiologi. Dengan demikian, disebabkan adanya kebutuhan untuk bergaul dengan manusia lain itulah, terjadilah dinamika sosial. Gilirannya, tercipta kelompok-kelompok sosial yang masing-masing di antaranya memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Tentu saja buntutnya, tumbuh persaingan, lahir kompetisi, saling adu strategi, bahkan pada akhirnya muncul pula sikap-sikap saling mendominasi atau saling menguasai di antara kelompok-kelompok masyarakat itu sendiri.
Sebenarnya mencermati sistem kemasyarakatan yang ada di sekitar kita, bak menonton film mafia yang menonjolkan potret perilaku jahat manusia, atau membaca novel tentang sikap hitam putih manusia, atau pun mendengarkan kisah-kisah drama yang menceritakan soal keindahan cinta, kesucian jiwa seorang rohaniwan, dan lain sebagainya. Dan memang, disadari atau tidak kita sadari, kisah-kisah tersebut pada dasarnya adalah refleksi dari perilaku-perilaku manusia sebagai keniscayaan yang terjadi apa adanya. Dari kisah-kisah tersebut seharusnya dapat menjadi cermin sekaligus menyadarkan diri kita, betapa sangat kompleksnya perilaku manusia itu, sehingga seolah membenarkan pendapat kalangan filosof bahwasanya semakin dalam kita membahas dimensi manusia, semakin banyak pertanyaan yang timbul. Terasa betapa bodohnya sosok manusia itu!
Bila direnungkan, kompleksitas masalah manusia tersebut sebenarnya adalah sebuah rahmat. Hal itu merupakan ladang persemaian untuk dijadikan peluang meraih sukses bagi manusia yang cerdik. Bagi kalangan pakar psikologi, pakar manajemen, pakar komunikasi, situasi itu seolah medan berlomba untuk berebut kebenaran melalui metode-metode pendekatan terhadap permasalahan manusia yang mereka tawarkan. Maka, dinamika kehidupan manusia pun menjadi hidup dan bergairah. Para analis maupun kalangan konsultan, semakin dibanjiri klien yang membutuhkan diagnosis dan terapi. Dalam keadaan yang demikian itu, takaran-takaran atau ukuran-ukuran tentang apa yang disebut dengan kesuksesan memang menjadi kian bias, jika tidak disebut semakin kabur. Sebab tidak ada standar penilaian yang baku. Semuanya dikembalikan kepada ukuran penilaian masing-masing pribadi manusia sesuai keyakinan dan kepentingannya.
Kini, sebagai pemilik kehidupan manusia memiliki agenda tentang bagaimana mengelola dirinya sendiri agar dapat meraih sukses. Terlepas mengenai makna seperti apa yang dimaksudkan dengan hidup sukses. Sebab orang dapat saja menafsirkan, dan pendapat ini paling banyak peminatnya, adalah sebuah kesuksesan ketika manusia itu sudah memiliki kekayaan, popularitas, serta jabatan yang tinggi. Atau, ada pula orang yang meyakini bahwasanya kesuksesan hidup itu dapat diraih bilamana manusia itu telah memasuki alam kehidupan yang tenang, dinamis, dan tidak direcoki dengan persoalan hidup macam-macam, meski secara faktual tidak dapat disebut sebagai orang kaya, orang top, dan seterusnya.
1. Etika Watak versus Etika Kepribadian
Seperti sering disebut dalam kitab suci agama-agama yang ada, dalam sistem kehidupan ini selalu berpasang-pasangan. Ada pria dan wanita, siang dan malam, dan ada pula kebaikan disamping keburukan/ kekejaman dunia. Memperbincangan kebaikan-kebaikan dunia terhadap kita, sudah tentu tak ada buku yang cukup untuk mencatatnya. Karena sejak kita dilahirkan di dunia ini, bahkan sebelum kelahiran itu terjadi, manusia sudah merasakan kebaikan-kebaikan itu. Dan kebaikan yang paling patut untuk disyukuri adalah kenikmatan memiliki jiwa yang waras, sehingga otak kita dapat berfungsi optimal untuk memikirkan segala kebutuhan manusia serta bagaimana memenuhinya. Bagaimana seandainya pikiran kita tidak waras?
Menurut sebuah riset di Jakarta menjelang akhir tahun 1900-an, menyimpulkan bahwa pada setiap 100 orang penduduk ibu kota itu 10 hingga 15 orang di antaranya mengidap penyakit jiwa stadium rendah/ringan, seperti psikosomatik. Terlepas dari validitas hasil penelitian tersebut, agaknya kita diingatkan kembali pada ramalan Syekh Ali Syamsu Zen, atau yang lebih populer dikenal sebagai pujangga Ronggowarsito tentang adanya masa yang disebut dengan jaman edan (zaman gila). Selengkapnya ramalan itu berbunyi kurang lebih sebagai berikut: “Jamane jaman edan, sing ora edan ora keduman. Lamun bejo-bejane wong kang lali, isih bejo wong kang eling lan waspodo” (Artinya: Zamannya zaman yang sudah gila, yang tidak gila tidak mendapatkan bagian. Tapi, seuntung-untungnya orang yang lupa, masih beruntung orang yang ingat dan waspada, Pen.).
Mencermati bunyi ramalan tersebut, selanjutnya memperhatikan berbagai perilaku sosial yang terjadi disekitar kita, tampaknya memiliki kegayutan. Betapa tidak, demi meraih jabatan, peningkatan karir, pekerjaan, atau apa pun yang dibutuhkan, kita dapat melakukan apa saja. Perilaku kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), sudah diyakini bukan lagi barang haram yang wajib dihindari. Bahkan secara ekstrem, orang tidak malu lagi mengatakan: “Bagaimana mungkin mendapatkan yang halal, bilamana untuk mencari yang haram saja sulit”
Premis semacam itu secara kejiwaan dapat menumbuhkan pembenaran. Dengan kata lain membentuk perilaku permisif, oleh karena sikap-sikap immoral semacam itu sudah menjadi gejala dan dianggap perilaku yang wajar. Sebab perilaku yang lurus dan jujur justru diprediksikan bakal berujung pada kerugian-kerugian.
Menurut hasil riset Dr. Stephen R. Covey, untuk tujuan pencapaian target-target yang ditetapkan, selama kurun waktu 150 tahun permulaan kemerdekaan bangsanya (Amerika, Pen.), ternyata etika watak (kualitas batin serta disiplin diri) lebih diutamakan daripada pengembangan kepribadian. Yang ditonjolkan di dalamnya adalah sifat-sifat seperti: kesederhaan, ketulusan, kerendahan hati, keberanian, integritas, kejujuran, kerajinan, dan hidup hemat.
Etika watak mengajarkan bahwa hidup efektif berdasarkan prinsip-prinsip yang benar, kesuksesan sejati, serta kebahagiaan yang langgeng, hanya bisa diperoleh apabila prinsip-prinsip tersebut dijadikan bagian dari watak kita. Sedangkan etika kepribadian mengajarkan bahwa sukses adalah sekedar fungsi dari citra popularitas kita di masyarakat, fungsi sikap dan perilaku ita, dan fungsi ketrampilan menerapkan rumus-rumus tertentu yang bisa memperlancar proses interaksi antar-manusia. Pendekatan berdasarkan etika kepribadian itu lalu sering disalahgunakan untuk menguasai, atau bahkan menipu orang lain, dengan menganjurkan penggunaan teknik-teknik agar diri kita disukai orang. Misalnya, dengan pura-pura tertarik terhadap hobi seseorang agar bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, atau bahkan dengan gertakan dan ancaman untuk menakut-nakut